Oleh : Nurali Mahmudi
Dabo, (LINGGA POS) – Pemerintah telah mengusulkan tiga manuskrip kuno untuk masuk sebagai Memory of the World (MoW) atau Memori Dunia pada awal 2011. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M. Nuh mengatakan, manuskrip kuno yang akan dicalonkan sebagai MoW ke UNESCO tersebut adalah Babad Dipanegara atau Autobiographical Chronicle of Prince Dipanegara (1785-1855), La Galigo, dan Mak Yong Documentation (Dokumentasi Mak Yong). Manuskrip Mak Yong ini ditulis sekitar abad ke-20
saat teater Melayu Mak Yong untuk pertama kali datang ke Indonesia. Naskah ini berisi lengkap penampilan teatrikal Mak Yong.
Asal muasal Mak Yong adalah dari puak Melayu yang sekarang dikenal dengan nama Nala Yala, Thailand Selatan. Kesenian ini merupakan suatu kombinasi unik yang berupa tarian, musik, nyanyian dan komedi slapstik dan teater.
Menurut Yang Sarijah (76), yang sejatinya adalah seorang seniman Mak Yong tempo dulu, pada intinya Mak Yong menyiratkan banyak mengandung kisah-kisah kebaikan (ketauladanan). Di masa mudanya, untuk satu judul cerita yang dipentaskan bisa berlangsung lebih dari satu hari. Kemudian atraksinya di mulai hanya selepas Isya sampai berakhir pada tengah malam. Malah sekarang pertunjukannya makin diperpendek hingga belasan menit saja. “Dulu menari saja bisa makan waktu satu jam,” tutur Sarijah, yang merasa agak gelisah, bagaimana jadinya kesenian Mak Yong ke depannya jika tidak ada lagi yang mewarisi tradisi Melayu ini. Kata dia, semakin pendek waktu yang disediakan, tentu akan semakin berkurang pula makna yang ingin disampaikan.
Isteri Tengku M. Atan Rahman (alm) ini, yang saat ini bermaustin di Kampung Keke, Kijang, Kabupaten Bintan, kelahiran Pulau Mantang ini sudah pernah melakukan pementasan Mak Yong bersama rekan-rekannya di Jakarta dan juga di negara tetangga Singapura, dan tentu saja di daerah-daerah tempatan di Bintan. Memang, perjalanan Mak Yong mengalami pasang surut seperti juga halnya dengan banyak kesenian tradisi lisan lainnya, umumnya di tanah air. Mak Yong, lanjut Sarijah, yang beruntung karena almarhum suaminya juga adalah pewaris utama Mak Yong di Pulau Keke, bersama rekannya Khalid di Pulau Mantang, yang pernah mencapai kejayaannya di era 1950. Salah satu ciri khas pemain Mak Yong di Kepri adalah dengan memakai topeng pada setiap ementasannya.
Seni tradisi Melayu ini kemudian pada era 1975-1982 lebih digiatkan lagi melalui semacam kegiatan revitalisasi kepada para pelajar sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Kota Tanjungpinang ketika itu. Hanya saja, pementasan Mak Yong yang dalam arti yang sesungguhnya, tidak kunjung muncul ke permukaan.
Pada Agustus 1991, tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta pernah berkunjung ke Tanjungpinang dan memelopori pementasan Mak Yong di Pulau Mantang Arang, kampung asal Mak yong.
Bagaimanapun, kini Yang Sarijah, sedikit merasa lega. Anak lelakinya, Tengku Satar dan putrinya Sakdiyah, masih bersedia menjaga dan melestarikan Mak Yong bagi generasi mendatang. Dia masih menyimpan pelbagai peralatan Mak Yong di rumahnya seperti gendang pengibu, gendang pengundi, topeng dan peralatan lainnya dari seni tradisi Mak Yong, yang mulai meredup dari khazanah kesenian Melayu khas Kepulauan Riau. Agaknya, para pihak terkait, para pecinta seni budaya anak negeri Pulau Segantang Lada ini, dapat mengambil inisiatif segera agar seni budaya ini dapat lestari. (jk,kemilau melayu)
View Comments (1)
thanks ya