Jakarta, (LINGGA POS) – Pemerintah dan DPR harus memikirkan instrumen yang lebih kuat untuk mengatur kemungkinan penyalahgunaan praktik otonomi daerah (otda) selama ini. Pasalnya, banyak penyimpangan dalam praktik otda yang terjadi selama lebih dari 10 tahun lamanya. “Pemerintah dan DPR misalnya, dapat merevisi UU Pemerintah Daerah (Pemda). Itu harus dibentengi supaya tidak ada kewenangan yang terlalu besar, termasuk proses akuntabilitas dan pengawasan,” kata pengamat politik Burhanuddin Muhtadi usai diskusi Politik Sindoradio, di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu kemarin.
Selain itu, untuk menekan penyimpangan yang dilakukan para ‘raja-raja kecil’ dalam pelaksanaan otda, perlu direvisi UU Pemilu Kepala Daerah yang sekarang sedang dibahas. RUU Pemilu Kada itu harus dilakukan revisi besar-besaran untuk memperkecil biaya politik. Sebelumnya, politisi Demokrat IGP Suardika mengatakan, kasus Buol adalah limbah dari pelaksanaan otda yang diberlakukan pada dasawarsa lalu. Kata dia, pendelegasian kewenangan Pemda untuk mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat telah disalahgunakan kepala daerah. “Kasus seperti Buol ini terjadi hampir disemua Pilkada. Incumbent memanfaatkan investor yang ada di daerah sebagai sumber dana,” terangnya. Ditambahkan, ada yang dengan cara halus dan ada sebaliknya. Seperti dibuat mogok kerja, rusuh yang kompensasinya cuma satu, minta didanai Pilkada. “Dana untuk pengamanan preman saja, pengusaha harus keluar Rp1 miliar,” ungkapnya.
Burhanuddin mengamini pernyataan itu. Menurutnya, sejak rezim otda dijalankan, telah memberi kewenangan yang terlalu besar terutama dalam pemberian izin usaha. “Kalau tidak diikuti dengan proses transparansi dan proses pengawasan yang ketat terhadap praktik otda di daerah tingkat bawah, maka yang terjadi adalah kongkalikong antar kepala daerah dengan pihak-pihak yang mengajukan investasi atau usaha di suatu wilayah,” tegasnya. Oleh karena itu dia menekankan, perlunya reevaluasi terhadap pelaksanaan otda di Indonesia. Hal ini berkenaan dengan kasus Buol yang telah membuat pengusaha nasional menjadi pesakitan KPK. Ini persoalan kompleks, terutama terkait dengan besarnya kewenangan yang kemungkinan besar disalahgunakan oleh kepala daerah. “Saya kira kasus itu bukan hanya sekedar pecahan gunung es,” pungkasnya. (san,sn)