(LINGGA POS) – Sejarah Pulau Penyengat tak bisa dilepaskan dari Kepulauan Riau. Inilah mengapa berkunjung ke ibukota Propinsi Kepri (disebut juga dengan Negeri Segantang Lada, atau Negeri Bunda Tanah Melayu, red) Kota Tanjungpinang, tak afdol jika tak menyinggahi Pulau Penyengat Inderasakti. Hal itu cukup beralasan, pasalnya pulau yang didiami ribuan penduduk yang terletak sekitar 1,5 kilometer sebelah barat Kota Tanjungpinang, banyak menyimpan peninggalan sejarah zaman dahulu. Terbukti, hingga kini Pulau Penyengat banyak diminati para pelancong baik lokal maupun mancanegara. Beragam peninggalan sejarah hingga kini masi tetap terawat dengan baik. Sebut saja Masjid Raya Sultan Penyengat, Benteng Bukit Kursi, Balai Adat, Makam Raja Abdul Rahman, Gedung Tengku Bilik, Gedung Mesiu, Istana Kantor, Makam Raja Jaafar, Sumur Puteri, Bekas Gedung Tabib, bekas Percetakan Rusdiyah Club, Bekas rumah hakim, Makam Tengku Halimah, Makam Raja Haji Fisabilillah, yang mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional dari pemerintah RI bersama Raja Ali Haji, keduanya dari Kepri, Benteng Bukit Punggawa, dan sebagainya.
Nama Penyengat sendiri, menurut Raja Hamzah Yunus (Alm) dalam bukunya berjudul Peninggalan-Peninggalan Sejarah di Pulau Penyengat, bermula saat beberapa pelaut zaman lalu menyinggahi pulau tersebut. Sang pelautmengambil air tawar untuk bekal mereka. Belum selesai mengambil air, segerombolan lebah menyerang. Beberapa pelaut terkena sengatan dan tewas. Sejak peristiwa itu, pulau tersebut dikenal dengan nama Pulau Penyengat. Selain kaya aspek peninggalan sejarah, pulau ini juga dikenal sebagai lokasi pertempuran sengit yang terjadi di sini. Beberapa pertempuran zaman dulu yang tercatat antara lain perang Sultan Sulaiman-Raja Kecik Siak, pertempuran Riau-Belanda pada 1782-1784 dan lain-lain. Bukti nyata lokasi pertempuran itu misalnya peninggalan meriam-meriam, beberapa benteng (lokasi pertahanan) dengan sistim pertahanan gaya Portugis. Pada 1803, pulau ini telah dibina dari pusat pertahanan menjadi negeri. Dan kemudian berkedudukan Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga. Sementara Sultan bermaustin di Daik Lingga. Baru pada 1900, Sultan Riau-Lingga hijrah ke Pulau Penyengat Inderasakti. Kala itu, kejayaan Penyengat berakhir manakala pemerintahan Kerajaan Sultan Lingga terakhir, Sultan Abdul Rahman Muazam Syah meninggalkan pulau itu karena enggan menandatangani kontrak yang menyatakan menghilangkan hak dan kekuasaan raja dan pembesar-pembesar Riau-Lingga dengan Belanda.
Beberapa peninggalan yang fenomenal dan kokoh berdiri hingga saat ini termasuk Masjid Raya Sultan Penyengat. Ianya merupakan cermin keagungan agama Islam di Pulau Penyengat. Dihiasi kubah-kubah, menara dan mimbar yang serba indah. Masjid ini dibangun sekitar 1249 H (1832 M) atas prakarsa Yang Dipertuan Muda (YDM) VII Raja AbdulRahman (Marhum Kampung Bulang). Masjid Raya ini berukuran panjang 19,80 meter, lebar 18 meter yang didalamnya ditopang oleh empat tiang beton dimana pada setiap penjurunya dibangun pula menara, tempat bilal menyerukan Azan, tanda masuk waktu shalat umat muslim. Selain menara berdiri pula 13 kubah empat persegi yang seluruhnya berjumlah 17 menara dan kubah merujuk jumlah rakaat shalat. Masjid ini berdiri di atas kawasan yang telah dibeton dan diratakan setinggi 7 hasta dari tanah. Untuk mengangkat batu, mengisi tanah dan menimbun atas seluruh bangunan dikerjakan oleh seluruh penduduk Penyengat kala itu. Konon bahkan selama tujuh malam berturut-turut kaum wanita pun turut mengerjakan amal jariah, bersama-sama menyumbangkan tenaga membangun masjid. Adapun makam Engku Puteri, permaisuri Sultan Mahmud terletak di daerah bernama Dalam Besar dimana pusaranya dikelilingi dengan tembok betom dan ditengah temboknya berdiri bangunan dan makam tersebut.
Disekitarannya ada pula pusara tokoh terkemuka Kerajaan Riau-Lingga Raja Haji Abdullah (Marhum Mursyid, YDM IX Riau-Lingga), pusara Raja Ali Haji (pengarang Gurindam 12, Tuhfat al-Nafis, Silsilah Melayu Bugis dan lainnya), pusara Raja Haji Abdullah atau Hakim Mahkamah Syariah, dan pusara-pusara kerabat Engku Puteri lainnya. Sementara makam Raja Haji Marhum Teluk Ketapang, terletak di Bukit Selatan, Pulau Penyengat atau bersebelahan dengan pusara Habib Syekh,seorang ulama terkenal di zaman Kerajaan Riau. Raja Marhum Teluk Ketapang adalah Pangeran Suta Wijaya di Jambi. Ia berhasik menaklukkan musuh dan kemudian menjadi penguasa Inderagiri dan membuka jalan bagi pengangkatan Syarif Abdul Rahman sebagai Sultan Pontianak, membangun Pulau Biram Dewa di Sungai Riau (Riau Lama) sehingga menjadi kota yang terkenal dengan nama Kota Piring. Dan peninggalan lainnya seperti Bekas Istana Sultan, bekas Gedung Tengku Bilik (adik Sultan Riau-Lingga terakhir, makam Marhum Jaafar YDM VI. Sedangkan peninggalan lainnya berupa kubu atau benteng pertahanan berjumlah 12 buah terletak di Bukit Batu dan Penggawa, dengan dilindungi parit pertahanan mengingat lokasinya berada di dekat pantai. (zekma albert,bp)