(LINGGA POS) – “Cempaka Putih” boleh dikatakan sebagai salah satu naskah semacam Karmasutranya Melayu. Ianya ditulis oleh tokoh kerajaan Riau-Lingga, Raja Abdullah Bin Raja Hasan atau lebih dikenal dengan nama Abu Muhammad Adnan. Di dalam buku setebal sekitar 190 halaman itu terdapat gambar-gambar kaum Hawa yang tak mengenakan busana dan diperjelas pula dengan coretan-coretan pensil mengisyaratkan adanya penekanan maksud-maksud tertentu seperti di bagian perut, pusat dan rusuk. Ya, memang manuskrip ini memuat mengenai masalah hubungan asyik masyhuk antar dua insan berlainan jenis, termasuk juga masalah ilmu kebal, peruntungan nasib, ilmu alam dan sebagainya atau bisa dikatakan sebagai buku yang memuat bunga rampai ilmu-ilmu Melayu. Penulisnya sendiri memang dikenal sebagai penulis buku-buku agama, sejarah dan tata bahasa Melayu Riau. Di dalam strata pemerintahan di Pulau Penyengat Inderasakti, Abu Muhammad Adnan (meninggal dunia 1926), menjabat sebagai hakim. Sedangkan bukti keintelektualannya selain mengarang, dia juga aktif dalam pergerakan organisasi Rusydiah Klub, yang menentang kaum penjajah.
Berbicara tentang manuskrip atau naskah kuno Melayu memang sangat kompleks. Naskah-naskah Melayu Riau terutama dalam segi jumlah dan penyebarannya hingga dewasa ini, meskipun sejak dulu para peneliti maupun pemerhati seperti Marsden, JJ de Hollander, Prof. DR. Ismail Hussein, Ding Choo Ming, Virginia Matheson hingga DR Sri Wulan Rulianti Mulyadi. Hasan Yunus dan UU Hamidy yang mengetengahkan naskah Melayu kuno secara luas, dan tidak terbatas pada wilayah Riau-Kepri saja. Menurut Dasri Al Mubary MS, tak kurang dari 3.000 naskah kuno tersebar di sini. Terutama terdapat di Kepri seperti di Pulau Penyengat dan Lingga yang kini disebut dengan Negeri Bunda Tanah Melayu, termasuk juga meskipun relatif sebagian kecil di Riau (daratan, red) di Sengingi, Kampar Kiri, Kuntn Darussalam XIII, Kota Kampar, dan Siak Sri Indrapura.
Namun tak kurang pula sekitar 29 negara dalam sosok yang sangat bervariasi, naskah Melayu Kuno ini bercokol antara lain di Belanda dan Inggris yang adalah sebagai negara penjajah kepulauan Nusantara namun punya peranan yang cukup besar terhadap benda-benda semacam itu, juga Rusia, Jerman, Myanmar dan Thailand.
Penyebaran naskah kuno Melayu itu dimungkinkan karena Bahasa Melayu sebagai Lingua Franca serta posisi Kepri yang mengembangsuburkan bahasa Melayu terutama dalam rentang waktu abad ke-18 dan abad ke-19. Ini diakui oleh Virginia Matheson dan Ding Choo Ming dalam makalahnya pada 1986 di Hamburg bahwa Kepri menjadi sumber penting naskah-naskah Melayu Kuno mengingat wilayah ini adalah benteng terakhir kekuasaan Melayu feodal. Di sini, naskah Melayu tak saja dipelihara, tetapi aktif dibuat, dan dikoleksikan.
Dalam hal ini juga karena adanya peranan para sarjana Belanda yang berupaya mengumpulkan naskah-naskah beraksara Arab Melayu seperti juga di Inggris. Sarjana von de Wall misalnya, hingga akhir hayatnya 1873, berada di Tanjungpinang, Kepri untuk meneliti keberadaan naskah-naskah Melayu kuno itu, atau Kkinbert pada abad ke-19, juga di Tanjungpinang, yang dalam masa penelitiannya rela menginap di rumah seorang Cina (Tionghoa,red) di masa itu dimana atap rumahnya bocor dan hidup bersahaja. Pentingnya posisi Riau-Kepri dalam naskah kuno ini, terletak sejalan dengan posisi dan perjalanan sejarah kerajaan Melayu, terutama sejak abad ke-13 hingga Traktat London 1824, yang memecahbelah Melayu dalam berbagai kepingan-kepingan sosial budaya masing-massing.