Oleh : FUJI QADARIAH*
(LINGGA POS) – Rumah Sakit sebagai salah satu industri jasa kesehatan diharapkan dapat memberikan pelayanan yang baik, berkualitas dan konsisten. Untuk mencapai kualitas pelayanan yang baik, tentu memerlukan upaya dan tindakan dari berbagai pihak. Dalam hal ini kerjasama dari setiap unit yang saling mengambil peran dalam manajemen Rumah Sakit (RS) secara luas. Namun, di sisi lain, bentuk pelayanan yang berkembang dewasa ini membuat kualitas pelayanan, dalam hal ini tentang praktek penyediaan makan untuk pasien rawat inap, relatif rumit. Sulit diukur, utamanya dalam memberikan rasa kepuasan kepada pasien dalam pemberian makanan atau biasa disebut dengan ‘terapi diet’ yang disajikan oleh RS. Dari hasil penelitian di RS DKI Jakarta terhadap 797 pasien yang berpenyakit tidak berat, 43,2 persen menyatakan pelayanan yang diberikan di RS itu terhadap mutu makanan yang disajikan (aspek rupa, porsi, rasa, keempukan dan suhu makanan). 1,5 persen menyatakan tidak puas, 17,75 persen kurang puas dan 81,5 persen puas terhadap warna makanan. Dari tekstur makanan yang disajikan, 27,27 persen menyatakan tidak puas, 16,3 persen kurang puas terhadap porsi makan utamanya sayur yang sedikit dibanding nasi yang berlebih. Dan pada bentuk makanan, 13,64 persen menyatakan kurang puas.
Hal yang sama misalnya di RSUD Dabo, Kabupaten Lingga, Kepri. Meskipun belum melalui penelitian yang komprehensif, namun dari masukan dan berbagai keluhan dapat dinilai, sistem pelayanan terapi gizi di RSUD Dabo belum dapat dikatakan memadai. Baik dalam hal pelayanan maupun dalam pemenuhan gizi yang baik bagi pasien rawat inap dan mereka merasa terabaikan. Juga di RSUD Mamuju, rata-rata pasien rawat inap menyatakan makanan yang disajikan di RSUD ini tidak enak, hambar dan tidak variatif. Akibatnya makanan itu tidak disentuh. Mereka malah mengakses makanan dari keluarga atau membeli di luar, sehingga dapat mengganggu pelaksanaan diet pasien itu sendiri. Pelayanan gizi di RS khususnya di ruang rawat inap mempunyai kegiatan antara lain menyajikan makanan kepada pasien dengan tujuan penyembuhan dan pemulihan kesehatan. Dengan menjalani rawat inap, berarti mereka memisahkan diri dari kebiasaan hidup sebelumnya terutama dalam hal makan. Bukan saja cara makanan dihidangkan, rasa makanan, tempat, waktu dan porsi makanan yang diasup. Hal ini kiranya menjadi intropeksi dan koreksi terhadap gambaran sistem pelayanan terapi gizi di RS. Bagi orang sakit, penyediaan makanan dipandang sebagai pelayanan yang fundamental. Itu sebabnya terapi gizi tidak boleh diabaikan sebagai salah satu upaya mempercepat kesembuhan pasien terhadap penyakit tertentu yang dideritanya sehingga harus menjalani proses rawat inap.
TERAPI MEDIA.
Ilmu kedokteran modern berpandangan, terapi nutrisi enteral dn parenteral bukan lagi pemberian makan, tetapi sudah menjadi ‘terapi media’, seperti halnya pengobatan dan tindakan media lainnya. Di beberapa negara maju yang telah memiliki Undang-Undang Kesehatan yang lebih lengkap, penghentian terapi nutrisi menjadi persoalan ilegal karena dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran hukum. Pola makanan seseorang berkaitan erat dengan budaya. Beberapa faktor yang memengaruhi ialah bagaimana seseorang memilih makanannya, kesenangan, daya beli, ketersediaan, kepercayaan, sugesti, aktualisasi diri, agama, psikologis dan faktor-faktor lainnya yang pada akhirnya dan paling penting, adalah pertimbangan gizi serta kesehatan individu.
Perlu diperhatikan dalam pengaturan terapi diet masing-masing pasien, berkaitan dengan jasmani yang menentukan konsistensi dietnya, dan nafsu makan yang merupakan penunjang dalam proses terapi gizi. Jika pasien mengalami gangguan nafsu makan, hendaknya makanan yang diberikan dengan porsi kecil, bentuk makanan lunak dan menyeimbangkan dengan kebutuhan gizinya (energi, protein, lemak, karbohidrat) dan variatif menu, sehingga pasien tidak bosan terhadap makanan yang disajikan. Hanya saja, prakteknya masih banyak RS, seperti di RSUD Dabo belum menjalankan terapi diet yang benar sesuai azas tersebut. Ini disebabkan karena minim atau tidak adanya ahli gizi, pengetahuan terhadap pelayanan gizi dan pelayanan yang kurang baik yang diberikan kepada pasien.
Oleh karena itu perlu segera dilakukan pembenahan terhadap sistem pelayanan terapi diet di RS pada pasien rawat inap. Ada pendapat yang mengatakan, “Kesehatan memang bukan segalanya, tetapi segalanya tanpa kesehatan tidak ada artinya,” dan “Jika obat dipandang sebagai dasar pengobatan, maka gizi harus dipertimbangkan sebagai dasar kesembuhan”. Tentunya, pertimbangan gizi dan kesehatan akan kita letakkan di tempat pertama. Dan, itu berarti bahwa tindakan terhadap pelaksanaan pelayanan terapi gizi yang baik, dapat membawa konsekuensi etis dan moral sebagaimana yang berlaku pada pengobatan lazimnya. (*Mhs. Semester 8, Jurusan Ilmu Gizi, Fak. Ilmu Kesehatan Universitas Respati Yogyakarta).