Oleh : JAYA KUSUMA AS.
(LINGGA POS) – Muhammad Tamin (67), pelakon antagonis dalam peran-peran tonil atau sandiwara atau bangsawan atau apapun namanya pada tahun 60-70an itu masih tampak gagah. Laki-laki berperawakan tinggi besar dengan empat putra-putri dan enam orang cucu, bersama isterinya ‘Permaisuri’ atau ‘Putri Raja’ dalam banyak pementasan bangsawan yang dilokoninya, Sumiati (65), sekarang bermaustin di Desa Penuba Lama, Kecamatan Selayar, Kabupaten Lingga. Ya, Sumiati adalah Sri Panggung atau Sang Primadona dimana pementasan bangsawan, menjadi hiburan satu-satunya bagi masyarakat Lingga umumnya ketika itu dan yang sudah mentradisi secara turun menurun disamping pertunjukan Joget keliling. Pertunjukan film, diputar masih dalam gedung seadanya berdinding papan yang biasa disebut Misbar (Gerimis Bubar) atau dengan layar tancap. Masa itu film-film yang diputar di datangkan dari Malaysia, Singapura melalui Tanjungpinang yang dibawa dengan kapal motor (KM) dengan jarak tempuh sekitar 8-9 jam sebelum singgah untuk diedarkan di Dabo Singkep lalu ke Desa Penuba secara bergantian.
SEMINGGU DUA KALI. Pertunjukan bangsawan diadakan seminggu dua kali atau pada malam Sabtu dan Minggu, kecuali ada perayaan nasional seperti peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI atau hari besar lainnya. Di samping penduduk di Desa Penuba sendiri dan sekitarnya, tutur Tamin, para penonton bangsawan datang dari desa-desa seperti Desa Kote, Sungai Buluh, Kuala Raya, Lanjut dan lainnya yang sengaja datang dengan berkayuh sampan ke Desa Penuba yang ketika itu memang menjadi sentra keramaian di kawasan ini, justru mengalahkan ibukota Kecamatan di Daik Lingga. Muhammad Jally (alm) pelakon protagonis atau sang jagoan, anak muda tampan pembela kebenaran, panglima yang gagah perkasa, hulubalang yang gagah berani atau Hang Tuah yang perkasa, menjadi idola, tambahan pula ia juga seorang biduan dengan suara merdu dengan alunan suara mirip penyanyi top dari negeri jiran Malaysia, Ahmad Jais. Jally, yang kelak menjadi Kepala Desa Penuba ini, bersama Tamin, dan kawan-kawannya dalam waktu cukup lama berkiprah pada pementasan bangsawan, meski pun dari segi materi sama sekali tidak dapat diandalkan, selain karena merasa puas dan bahagia dapat mengembangkan bakat seni dan untuk melestarikan budaya Melayu. Tak urung pada masa itu grup bangsawan dari beberapa daerah termasuk dari Deli, Medan ikut menunjukkan kesenian bangsawan dari daerah mereka, yang sama-sama bangsa Melayu, juga dari ibukota Provinsi Pekanbaru, ketika itu.
PANCASARI. Pancari adalah nama grup bangsawan dimana tempat mereka berkesenian. Puluhan orang bergabung di sini dari berbagai talenta sebagai pemain (pelakon), pemusik, penari dan sebagainya. Alat-alat musik yang dimainkan antara lain sejenis biola, akordion, gitar, marakas, streembas, bambam atau bonggo. Nama-nama seperti Rukiah, Atan Raus, Ubah, Nuraini, Azam Chick, M. Dahlan, M. Djumiat yang sebagian sudah almarhum, cukup dikenal dan mendapat apresiasi dari masyarakat. Dikisahkan Tamin, Pancasari telah membawakan berbagai kisah umumnya tentang kehiduapan dalam istana Kerajaan Melayu Lingga dengan berbagai intrik dan permasalahan para penguasa. Mereka berlakon dengan memerankan peran berganti-ganti yang disesuaikan dengan karakter masing-masing, sementara lakon yang dimainkan telah dikompromi tiga hari sebelum hari H melalui latihan sporadis, bahkan tanpa latihan sama sekali, mengingat profesi keseharian yang berbeda seperti guru, buruh, pegawai pemerintah dan sebagainya. Namun, cukup profesional dan dapat mengatur waktu dengan baik, dan kompak satu sama lain.
Naskah-naskah biasanya berbentuk skenario? Kebanyakan lebih pada kisah dari mulut ke mulut dan dijabarkan dengan vulgar melalui ‘improvisasi’ di atas panggung secara personal. “Asal tidak melenceng jauh dari cerita aslinya,” tutur Tamin. Lucunya, dibalik layar panggung, ada ‘tukang bisik’ yang bertugas mengingatkan pemain yang sedang in action, kalimat atau kata-kata yang harus diucapkan tokoh dalam adegan yang dibawakannya.Pergantian adegan ke adegan lain disebut babak dengan durasi sekitar 20 menit. Pergantian babak lebih terasa melalui dekorasi panggung yang dilukis pada kain layar sesuai jalan cerita yang dimainkan misalnya balairung istana, taman, hutan belantara, samudera dan sebagainya di tambah ‘proferti’ lainnya yang dikerjakan secara gotong royong. Layar yang dipasang secara berlapis ditarik manual oleh petugas yang siap menaikkan dan menurunkan layar dibalik panggung sesuai perintah sang sutradara yang sekaligus merangkap sebagai penulis skenario, pemain, penata panggung. Saat jeda itulah, para pemusik dan biduan-biduanita atau penari menyuguhkan musik dan lagu tradisional atau yang menjadi hit ketika itu melalui radio, yang tentu saja dari siaran negeri jiran, Malaysia atau Singapura. Menurut Tamin, naskah cerita atau sejenis skenario pementasan bangsawan Pancasari saat ini masih disimpan rekannya Ibrahim Budus (67), yang bermaustin di Daik Lingga. Ibrahim sering bertindak sebagai sutradara grup bangsawan Pancasari. (bersambung).