Jakarta, (LINGGA POS) – Politik Indonesia memang sulit dilepaskan dari yang namanya uang. Program semacam Bantuan Sosial (Bansos), malah sering dipakai para pejabat untuk kepentingan politiknya, misalnya untuk kepentingan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Setidaknya, ada sebelas sektor yang sering dijadikan sumber korupsi di Indonesia dan Bansos merupakan sumber yang sering digunakan. Yang lainnya, seperti dana APBD-APBN atau belanja kementerian, pajak (energi, pangan, benih, pupuk, buah, sayur, daging, gula, kedelai, jagung dan sebagainya), kebijakan publik (Dana Alokasi Umum/DAU, revisi APBD, izin importasi, pengadaan barang dan jasa, rekrutmen CPNS dan pejabat publik (calo), mafia hukum dan peradilan, pungutan daerah (tender proyek) dan pemberian izin (tambang, sawit, lahan dan sebagainya). Hal itu terangkum dalam dialog dengan bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Pencegahan, Busyro Muqaddas, di Surabaya, Senin (23/9). “Kalau mencalonkan diri dalam Pilkada dengan menggunakan dana Bansos, ya, tentu siapa pun bisa. Modusnya, dana bantuan itu biasanya dibagikan menjelang Pilkada,” papar Busyro. Cara itu, membuat masyarakat terbiasa dengan ‘serangan fajar’ atau ‘money politics’ sehingga semuanya ditentukan dengan kedekatan dan uang.
PREMAN JUGA BISA. “Karena itu, pendidikan politik pun jalan. Preman bisa jadi pemimpin, sehingga anak bangsa yang terlahir pun menjadi rusak. Pemimpin seperti itu bisa saja terpilih dan sangat ‘demokratis’ tapi akuntabilitasnya menjadi sangat rendah,” kata dia. Bukti rendahnya akuntabilitas itu, lanjutnya, terlihat dari tingginya angka golput dari Pilkada ke Pilkada. “Golput dalam Pilkada Jatim mencapai 47,3 persen, di Jateng 49 persen, Jabar 32,23 persen, Kaltimg 43 persen dan Pilkada di Riau 47,47 pesen,” terang Busyro.
PRIORITASKAN KEBIJAKAN. Karena itu, menurut dia hal semacam itu harus segera dicegah. Caranya, demokratisasi perlu dijalankan di bidang ekonomi. Untuk itu masyarakat sipil seperti kalangan kampus dapat bekerja sama dengan KPK dan pemerintah setempat untuk memetakan kebutuhan masyarakat dan harus menjadikannya sebagai prioritas kebijakan yang implementasinya juga melibatkan masyarakat sipil dari kalangan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan pers untuk mengontrol akuntabilitas tersebut. (ian,m)