(LINGGA POS) – IDENTIK SRI MULAT. Ahmad Baharuddin (60), warga Desa Penuba yang juga pernah di masa remajanya ikut beberapa kali pementasan bangsawan sebagai pembaca prolog merangkap pemungut uang dari penonton mengatakan, adapun naskah cerita yang sering dibawakan adalah Hikayat Laksamana Hang Tuah, Putri Hijau, Putri Dari Gunung Ledang, Mayangsari, Sultan Mahmud Mangkat Dijulang, Musang Berjanggut, Panglima Ayam Berkokok, Lancang Kuning, dan cerita-cerita lainnya yang diadaptasi dari hikayat lama Melayu, versi Melayu Lingga. Tidak beda dengan grup lawak Srimulat, pimpinan Jujuk Djuwariah dari Jawa Tengah yang secara nasional ditayang melalui media elektronik TVRI dan stasiun swasta lainnya, grup bangsawan Pancasari lebih merupakan keinginan dari mereka untuk melestarikan seni budaya bangsa, khususnya Melayu tradisional. Dalam artian, bukan untuk tujuan komersil para anggotanya. Mereka tidak menetapkan bayaran atau honor, lagi pula panggung pertunjukan berada di lapangan terbuka. “Kebersamaan” yang dibangun dengan audience (penonton) tumbuh dengan baik dan adanya kesadaran bersama untuk mempertahankan dan melestarikan seni budaya Melayu, dengan keikhlasan diri. Bahkan, dana yang didapat dari hasil pertunjukan dipergunakan untuk keperluan membangun set atau sarana dan prasaranaberupa rehabilitasi panggung, perabotan, layar, busana, alat-alat musik, lampu ‘strongking’ untuk penerangan, pengeras suara dan sebagainya yang kebanyakan adalah milik pribadi atau didapat melalui sumbangan dan bantuan dari masyarakat, termasuk dari warga Tionghoa, yang secara kultural seakan telah menyatu dengan penduduk pribumi di masa itu. Tambahan lagi, lokasi pertunjukan berada di sentra perekonomian (kedai) sehingga terjadi timbal balik ekonomis yang serba menguntungkan antar pihak. Berapa pun yang didapat, baik dari pemungut sumbangan yang bertugas berkeliling menemui penonton dengan memberikan setangkai bunga berwarna merah, sebaliknya penonton dengan ikhlar memberikan uang sesuai kemampuan mereka sendiri atau juga memberikan langsung kepada idolanya yang sedang berakting di atas panggung dengan cara melemparkan bingkisan mereka ke tengah pementasan, berupa uang, makanan, dan atau suvenir lainnya.
DISIMPAN DI MUSEUM LINGGAM CAHAYA. Memang sangat disayangkan, tidak ada peninggalan berupa foto-foto misalnya atau bentuk dokumentasi lain yang bisa dijadikan benda ‘sejarah’ kejayaan bangsawan ini. Menurut Tamin, paling tidak ada sehelai pakaian Panglima Melayu, yang disebut Baju Berantai (terbuat dari besi) yang biasa disebut ‘baju simes’, yang saat ini disimpan di Meseum Linggam Cahaya, Daik Lingga. Baju ini, menurut Tamin untuk memakainya harus melalui acara ritual dahulu karena jika tidak, maka tak seorang pun yang dapat mengenakannya. Diceritakan Tamin, memang ada naskah-naskah cerita tertentuyang untuk pementasannya melalui persyararatan-persyaratan ritual. Hikayat Hang Tuah, misalnya para pemain yang berlakon sesuai karakter yang dimainkankan merasa ada roh yang sebenarnya, yang masuk ke dalam jiwa mereka. Ini membuat pertunjukan menjadi berhasil, apalagi senjata yang dipakai adalah berupa senjata atau keris asli, yang jika ditusuk pada tubuh pemain menjadi kebal atau tidak melukai pelakon. Namun sebaliknya, akan menimbulkan hal-hal yang di luar nalar kita, tiba-tiba saja turun hujan, kecelakaan dalam adegan perkelahin, layar yang putus, kesurupan, dan berbagai kejadian lainnya.
Menurut Ahmad, dapat difahami kalau pertunjukan pementasan ini disebut bangsawan, mengingat cerita-cerita yang dipentaskan adalah cerita atau hikayat tentang kerajaan atau tingkah polah para bangsawan alias petinggi kerajaan jaman lalu yang berkisar di kehidupan elit kerajaan Melayu Riau-Lingga dengan segala intrik dan kejadian masa itu. Lagi pula, lanjut Tamin, pakaian atau aksesoris, singgasana, perabotan istana dan penayangan cerita yang tentu dengan menggunakan dialog Melayu, paling tidak adalah duplikat asli dari kerajaan Melayu yang bernuansa warna kuning dan hijau. Baik dari sisi etika, moral dan tindak perbuatan adalah gambaran bangsawan Melayu melalui persepsi masyarakat masa kini.Dari tutur bahasa yang diucapkan, atau dialog antar pemain dengan memakai seloka dan sedikit pantun untuk mengisi durasi babak demi babak. Kita ketahui, seloka adalah pemakaian kata-kata bersambung dalam dialog sehingga menimbulkan tekanan bunyi yang bersamaan untuk menguatkan makna kata.
REALITA. Dewasa ini, dengan banyaknya berbagai pertunjukan dalam maupun luar ruangan, atraksi langsung atau tidak langsung. Melalui media cetak dan elektonik dan berbagai materi pilihan tontonan lainnya sudah memenuhi segmen waktu manusia masa kini yang serba instan. Pertunjukan bangsawan pun ‘tenggelam’ karena kehendak zaman. Ia hanya jadi tontonan sema pada acara-acara seremonial semata. Namun, Tamin dan kawan-kawannya masih berharap agar Pemerintah Daerah Lingga dapat kembali memberi ruang apresiasinya serta respon positif untuk perkembangan seni pertunjukan bangsawan sebagai salah satu dari banyak seni tradisional Melayu lainnya seperti seni tari, pantun, syair, pencak silat, seloka, gurindam, joget dangkung, makyong, lagu-lagu Melayu dan sebagainya, yang perlu dipelihara dan dilestarikan bagi anaka cucu bangsa Melayu ditengah gejolak musim globalisasi masa kini. Bagaimana Kadam menggembirakan hati Raja yang murung dan ucapan, “Ampun Tuanku, sembah patik harap diampun,” atau “Sembah patik di bawah Duli yang Mulia,” atau “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah,” atau “Tidak Melayu hilang di bumi”. (Dabo,1992009)