Jakarta (LINGGA POS) – Mohammad Al Alabbar, konglemerat sekaligus anggota penguasa kerajaan Uni Emirat Arab (UEA) berpendapt, hubungan antara dunia Arab (Islam) dengan negara-negara Barat saat ini masih sulit didekatkan. Tapi bersama dengan perubahan waktu dan peradaban dunia dimana anak-anak dari kedua dunia menggunakan media komunikasi yang sama, kerenggangan itu cepat atau lambat sepertinya akan segera berakhir. Dewasa ini anak-anak dari kedua dunia sama-sama menggunakan internet dan sosial media yang sama seperti Facebook dan Twitter, menggunakan bahasa yang sama dan alat permainan yang sama. “(Secara global, red) mereka terhubung satu dengan yang lainnya tanpa dikontrol oleh orang tua mereka. Jadi saya kira ke depan, melalui persamaan ini akan membuat persahabatan kedua dunia segera terwujud. Generasi muda-lah yang akan menghubungkan kedua dunia itu,” kata penguasa yang membangun Burj Khalifa, pencakar langit tertinggi di dunia (830 meter), di Dubai. Tidak saja karena ketinggiannya yang kesohor tetapi kemewahan dan eksklusifitas Burj Khalifa, dengan kamar-kamar di hotelnya yang menyatu dengan gedung pencakar langit. Burj dirancang oleh desainer Barat kenamaan, Giorgio Armani asal Italia. Pada 2004 saja tarif kamar termurah di hotel itu berharga US$4.000 setara Rp41 juta per malam. Sementara untuk kamar lux bisa sampai tiga kali lipatnya.
1,5 JUTA PENDUDUK, DARI 180 NEGARA.
Dia tidak spesifik menyebut kapan kira-kira perdamaian antara dunia Arab (Islam) dan Barat akan terwujud. Namun, ia memberi ilustrasi tentang perubahan kota kelahirannya itu (Dubai). Sekitar 40 tahun lalu kehidupan di Dubai sangat sulit. Sebagai putra bungsu dari 13 bersaudara, tidak pernah sama sekali membayangkan kota itu akan menjadi seperti sekarang. Kini, di kota berpenduduk 1,5 juta jiwa ini terdapat ribuan manusia yang berasal dari 180 negara yang berbeda kewarganegaraan dan keyakinanan (agama). Mengapa mereka mau bekerja dan menetap di Dubai? Itu tidak lain, karena mereka menemukan apa yang dicari ada di Dubai. Mereka tidak merasakan adanya perbedaan di negara Islam itu. UEA adalah negara kecil yang unik, yang secara geografis dikelilingi sejumlah negara yang berkonflik. Di semua penjuru mata angin yang berbatasan dengan Dubai atat UEA, terdapat negara yang terlibat perang saudara atau dengan negara tetangganya. Namun, sebaliknya, UEA justru menawarkan sebuah kehidupan yang aman. Dubai menjadi sebuah kota multibangsa karena penguasa (pemimpin) setempat memahami apa yang dicari dan diinginkan oleh setiap manusia yang sedang ada di jalan-jalan, pemerintah menyediakan fasilitas dan infrastruktur dan warga asing itu menemukan yang mereka cari, mereka betah tinggal atau berada di Dubai. Secara implisit, alumni The Albers School of Business and Economics, Seattle University itu berkesimpulan pengelola negara harus paham apa yang diinginkan rakyatnya, sehingga perbedaan dan pertikaian tak akan pernah terjadi, apabila kemakmuran hadir dan dapat dinikmati secara bersama.
INGIN SEPERTI MEKAH.
Al Alabbar (50) yang setiap tahun menjadi pembicara di Forum Ekonomi Davos, Swiss, menuturkan, sebagai salah seorang pejabat pemerintah, ia bercita-cita menjadikan Dubai setara dengan Mekah, kota suci umat Islam di Arab Saudi. “Saya ingin Dubai juga dikunjungi oleh 50 juta orang setiap tahunnya seperti kota Mekah,” ujarnya seperti disiarkan Bloomberg TV Indonesia, Kamis (31/10) pagi, di acara Face to Face di London. Pria dengan nama lengkap Mohammad Ali Rashid Al Alabbar ini, memiliki banyak jabatan di pemerintahan UEA, khususnya penguasa Dubai. Diantaranya sebagai pembantu senior Sheik Mohammad bin Rashid Al Maktoum, yang adalah Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri UEA. Kendati begitu, pria yang sering bepergian ke berbagai kota besar di dunia dan pernah tinggal di Singapura dan dari sana melatarbelakangi pemikirannya membangun Burj Khalifa, yang dimaksudkan menjadi ikon tersendiri diantara negara lainnya yang sudah ternama tersebut, lebih dikenal sebagai pengusaha dan raja properti melalui perusahaannya Emaar Properties, salah satu perusahaan real estate terbesar di dunia.
NILAI KEKAYAAN US$15 MILIAR.
Media-media Barat menyebut Mohammad Al Alabbar sebagai seorang pekerja keras dari negara Arab (Timur Tengah). Ia menjabarkan filosofi kerjanya bahwa dalam kehidupan manusia, tidak ada yang bisa mengalahkan makna sebuah kerja keras, terus berusaha dan berdoa. “Kerja keras memiliki arti yang sangat luas. Mulai dari keberanian mengambil risiko, menghargai sesama, menghargai waktu dan teliti dalam membuat kalkulasi,” ungkap pria Muslim yang taat beribadah ini, yang saat ini memiliki kekayaan senilai US$15 miliar. (mdr/ic)