Daik (LINGGA POS) – Diharapkan agar dapat menjadi salah satu objek wisata alternatif baru yang lebih diminati di Linggga, Pemprov Kepri melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kepri membangun sebuah museum di ibukota kabupaten, Daik. Pemprov Kepri telah menganggarkan setidaknya sebesar Rp 3 miliar untuk pembangunan museum dua lantai yang saat ini pengerjaanya sudah hampir rampung dan diperkirakan pada tengah bulan November ini sudah dapat dinikmati masyarakat. Diakui Kepala Disbudpar Kepri Arifin Nasir, tanpa menyebutkan alasan spesifik, bahwa pembangunan museum ini sempat molor pada 2012 lalu. Nasir menilai, pembangunan museum yang lebih representatif di negeri Bunda Tanah Melayu ini cukup strategis dan sangat digesa utamanya dalam upaya memelihara dan melestarikan peninggalan-peninggalan benda budaya dan sejarah masa lalu di masa kejayaan kerajaan Melayu Riau-Lingga untuk generasi masa datang. Meskipun, sebelumnya Lingga telah memiliki sebuah museum ‘mini’ bernama Museum Linggam Cahaya, yang cukup mendapat apresiasi dari masyarakat Lingga maupun para wisatawan mancanegara. “Selain itu, museum ini juga nantinya sebagai upaya untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke sini (Kabupaten Lingga) dan menjadi destinasi baru yang lebih representatif untuk dikunjungi,” ujarnya.Karena itu Nasir berharap Pemkab Lingga khususnya masyarakat Lingga umumnya dapat menjaga dan memanfaatkan museum yang telah dilengkapi landscape serta tata museum yang baik sesuai standar yang telah ditentukan itu dengan sungguh-sungguh dan saling berkoordinasi dengan pihak terkait agar keberadaan museum itu benar-benar bermanfaat.
Seperti diketahui sejak 2003 Pemkab Lingga telah memiliki museum mini bernama Museum Linggam Cahaya dan memiliki koleksi benda-benda budaya dan peninggalan sejarah masa lalu yang cukup beragam dan telah mendapat ‘restu’ dari pihak Tim Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional serta dari Pemprov Kepri sendiri pada 2002. Berbagai benda-benda budaya tersimpan dengan baik dan dapat disaksikan di museum tersebut seperti alat-alat kesenian tradisional, senjata atau peralatan perang dan berburu, koleksi berbagai uang kertas maupun logam/perak, sejenis ‘paha’, ‘keto’, ‘bon’, tenun dan tekad Melayu, piring dan mangkuk antik, tempayan, serta foto-foto tempo doeloe dan lain sebagainya. Uniknya, kebanyakan benda-benda budaya itu adalah sumbangan masyarakat yang merasa peduli dan berkenan menyerahkan kepada pihak pengelola museum bahkan tanpa mendapatkan ganti rugi atau pun dibayar kepada pemilik pribadi. (arn,sys)