Jakarta (LINGGA POS) – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menyayangkan sikap hakim tindak pidana korupsi (tipikor) yang kerap memberikan vonis rendah kepada terdakwa korupsi. “Ini menandakan hakim tidak mampu menangkap kekhawatiran masyarakat terkait upaya pemberantasan korupsi. Hakim harusnya memiliki common sense yang sama dengan masyarakat,” kata Abraham di Jakarta, Jumat (22/11). Lanjut dia, kehendak masyarakat para koruptor harus dihukum seberat-beratnya. Namun hakim tidak memahami hal tersebut sehingga vonis yang dijatuhkan tidak menciptakan rasa keadilan di mata masyarakat. Karena itu KPK memberikan apresiasi atas vonis yang dijatuhkan Mahkamah Agung (MA) kepada Angelina Sondakh (Angie). Vonis ini juga membuat efek jera supaya orang berpikir seribu kali untuk melakukan korupsi.
Diberitakan, selain memperberat hukuman Angie menjadi 12 tahun penjara, MA juga menjatuhkan hukuman denda Rp500 juta. Majelis kasasi juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai Rp12,58 miliar dan US$2,35 juta (Rp27,4 miliar) kepada mantan pengurus Partai Demokrat ini. Pidana tambahan baru ini diputuskan MA karena pengadilan sebelumnya (Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta) tidak menjatuhkan uang pidana pengganti. Majelis Kasasi MA yang dipimpin oleh Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar dengan hakim anggota MS Lumme dan Mohammad Askin, menjerat Angie dengan Pasal 12a UU Tipikor karena ia dinilai aktif meminta dan menerima uang, terkait proyek-proyek di Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.
BEDAKAN TEBANG PILIH & SKALA PRIORITAS.
Abraham menolak jika KPK dikatakan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Penanganan kasus korupsi yang dilakukan KPK, kata dia, menggunakan skala prioritas. “KPK tak tebang pilih tapi (ada) skala prioritas. Kami hanya menangani ‘grand corruption’,” kata Abraham saat mengisi talkshow di acara Kompasianival di Mall Grand Indonesia, Jakarta, Jumat (22/11). Masyarakat hendaknya dapat membedakan antara tebang pilih dan skala prioritas. Dua syarat yang menentukan sebuah korupsi dikategorikan sebagai korupsi besar, siapa pelakunya, apakah penyelenggara negara ataukah penegak hukum dan berapa nilai kerugian yang ditimbulkannya, besar atau kecil. Sementara dalam skala prioritas mencakup sektor pajak, minyak dan gas (migas). Kedua sektor itu dinilai melibatkan nominal keuntungan yang melimpah, tetapi rentan diselewengkan.
HANYA 60 PENYIDIK.
Skala prioritas diterapkan, karena KPK hanya punya 6o penyidik sehingga tak mungkin semua perkara korupsi dapat ditangani KPK. Sebagai perbandingan, Hong Kong yang berpenduduk sama dengan Indonesia (sekitar 8 juta jiwa) punya ribuan penyidik. Adapun kasus korupsi yang tak masuk kategori berskala besar atau di luar kedua sektor itu, dilimpahkan kepada penegak hukum lainnya, yakni kepolisian dan kejaksaan. KPK hanya sebatas mengawasi. “Kalau tak diawasi, bisa misalnya di ’86’-kan, dipeti-eskan,” kata Abraham.
JIKA TAK ADA KORUPSI, SEMUA ORANG INDONESIA KAYA.
Andai saja korupsi tak menggurita di Indonesia, tak ada lagi orang miskin di negeri ini. Diperkirakan nominal uang rakyat yang di korupsi mencapai Rp18.000 triliun! “Coba bayangkan kalau jumlah itu dipakai untuk kepentingan negara dan tidak dikorupsi, kaya kita semua,” imbuhnya. Karena itu, Abraham bercita-cita, KPK pada suatu ketika bisa membawa Indonesia terbebas dari praktik korupsi. Dan, ini bukanlah suatu hal yang mustahil diwujudkan. “(Cita-cita saya) suatu hari nanti akan ada suatu generasi yang tak mengerti apa itu korupsi. Mereka bertanya binatang apa itu? Spesies dinosauruskah?” kata Abraham. (i/kc)