(LINGGA POS) – Ada yang bertanya, apa ‘persamaan’ akil baligh dengan Akil Mochtar? Ya, pertanyaan ala anekdot itu muncul begitu saja ketika ramai diberitakan ketika Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar ditangkap ‘tangan’ dan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Akil, diketahui diamankan lembaga anti rasuah pimpinan Abraham Samad, karena dugaan suap sengketa pemilihan kepala daerah, kepemilikan narkoba, dan pencucian uang. Rakyat negeri ini tersentak. Bagaimana tidak, MK adalah sebuah Mahkamah, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai badan tempat memutuskan hukum atau suatu perkara atau pelanggaran; penyidikan, mirip dengan pengadilan. Namun, dalam konteks sistem peradilan Indonesia, Mahkamah, baik itu Mahkamah Agung (MA) maupun MK adalah merupakan pilar yang paling tinggi alias tidak ada lagi yang lebih tinggi dari institusi itu untuk urusan hukum di tanah air tercinta ini. Dan, episode menggegerkan Akil Mochtar ternyata terus berlanjut manakala sang hakim konstitusi (yang adalah selaku ketua, red) ini pun ditetapkan menjadi tersangka atas dua kasus sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Tercatat, untuk kasus Akil, lengkap sudah yang menjadi tersangkanya dari tiga lembaga tertinggi, wakil rakyat yakni, Akil Mochtar yang berasal dari Yudikatif, ada Chairun Nissa yang anggota Legeslatif dan ada beberapa nama dari pemerintah atau eksekutif. Pun, persoalan belum usai di situ. Penyidik KPK, konon sudah pula memastikan menemui sejumlah ‘obat’ terlarang seperti ganja, inex atau pil ekstasi, plus kabarnya, upsss …. obat kuat di laci meja sang bos. Mengikuti logika praduga tak bersalah, memang benar, Akil berikut para thief-thief lainnya belumlah terbukti melakukan tindak pidana yang disangkakan, atau belum sampai pada kekuatan hukum tetap yang memutuskan mereka ‘bersalah’. Namun, sepertinya sudah sulit untuk memberikan pembelaan lagi bahwa Akil dkk belum tentu bersalah dengan sederetan temuan dari penggeledahan pasca penangkapan yang dilakukan penyidik KPK. Tentu bukti kuat utama yang dipegang KPK adalah hasil pembicaraan Ketua MK itu dengan berbagai pihak yang didapat lewat penyadapan, menyusul bukti-bukti uang tunai dalam nilai ratusan bahkan miliaran rupiah yang ditemukan diberbagai tempat, harta, dan terakhir pihak KPK menyita 21 mobil terkait kasus Akil (pencucian uang) yang disita dari berbagai tempat di wilayah Jakarta dan Jawa Barat. “Awalnya 16 buah, kemudian menyusul 2 buah jadai total 18 mobil yang sudah diamankan di kantor KPK. Selanjutnya, menyusul 3 mobil lagi,” kata juru bicara KPK Johan Budi, di kantor KPK, Jakarta, Jumat (29/11). Mobil-mobil mewah itu antara lain Toyota Alpard, dan Mercedes C-180.
PLESETAN ‘THIEF’.
Agaknya, Akil memang sudah terjepit. Sulit untuk berkelit atau bahkan sekedar untuk membela diri. Kalau dalam bahasa mantan Ketua MK, Mahfud MD, “Lebih baik pak Akil ‘ngaku’ saja,”. Namun, kepada wartawan dalam wawancara singkat, pak Ketua mengaku tak kenal dengan Chairun Nissa (anggota DPR) dan Cornelius Nalau, pengusaha, yang bertandang kerumah dinasnya di kompleks pejabat negara, Widya Chandra III Nomor 7, Jakarta, Rabu (2/10) malam. “Saya tidak tahu maksud kedatangan mereka,” kilahnya. Penangkapan dan penetapan status tersangka kepada Akil pastinya memunculkan dua rasa yang berjalan beriringan, tetapi pada saat yang sama bertolak belakang.
Tentu kita sering mendengar bahwa hukum tidak pandang bulu, apalagi untuk urusan korupsi. Buktinya, sudah banyak memang pejabat daerah, anggota DPR/DPRD masuk bui. Ada juga jenderal bintang dua dan bintang tiga yang sempat menginap di hotel prodeo, ada pula orang nomor satu elit partai yang lagi bermasalah dengan pengadilan. Namun, di sisi lain, ada pula pesimisme. Manakala mengetahui MK lembaga paling tinggi pun sudah terjebak dalam perkara tindak pidana koruprsi. Ironis. Kepada siapa lagi bangsa ini harus percaya? Mereka, para petinggi di lembaga eksekutif, legeslatif dan yudikatif hingga ke level bawah (oknum?) menjadikan institusi yang seharusnya ‘terhormat’ diplesetkan menjadi eksekuTHIEF, legeslaTHIEF dan judikaTHIEF. (THIEF sama dengan PENCURI).Tak heran, kalau ada pula yang menyebut negeri ini adalah NEGERI MAFIA, yang lebih halus mengistilahkan dengan NEGERI PARA MALING, sementara yang lebih kasar (karena frustasi), menggunakan istilah NEGARA PARA BEDEBAH! Ya, mungkin karena sudah terlalu sulit untuk memilih optimisme atau kudu pesimisme tadi, yang akhirnya masyarakat menyikapi perbuatan Akil Mochtar dengan satir atau anekdot, sebagai disebutkan di awal tulisan ini. ‘By the way’, apa Anda sudah tahu jawaban pertanyaan apa persamaan Akil Baligh dengan Akil Mochtar? Seorang teman memberi jawaban di Faceabook-nya yang isinya kira-kira begini : Sama-sama BASAH. Cuman, kalau Akil Baligh artinya MIMPI BASAH, kalau Akil Mochtar …. TERTANGKAP BASAH. He he he …. ‘kena deh! (eries adlin/k24,kj,jk)