Oleh : NASARUDDIN UMAR
DEMOKRASI LIBERAL dan SOSIAL.
Salah satu problem konseptual yang selalu muncul di permukaan dalam wacana politik di Indonesia ialah hubungan antara Islam dan demokrasi. Sebagian warga bangsa tidak melihat ada persoalan antara Islam dan demokrasi. Namun, sebagian lagi masih mempersoalkannya. Sebenarnya bukan hanya di Indonesia, dan bukan hanya dengan Islam, tetapi negara-negara dan agama-agama lain juga masih sering mempersoalkannya. Konsep demokrasi selalu didasarkan kepada hak-hak dan kebebasan manusia, baik individu di dalam negara biasa disebut demokrasi liberal. Sedangkan demokrasi yang lebih menekankan pada pentingnya masyarakat di dalam negara, biasa disebut dengan demokrasi sosial. Demokrasi liberal mempunyai prinsip bahwa kebebasan individu harus ditempatkjan di atas segala-galanya oleh negara. Berbeda dengan demokrasi sosial yang mempunyai prinsip bahwa masyarakat sebagai kumpulan individu dan keluarga harus lebih diutamakan dan negara harus menjamin serta melindungi hak dan eksistensi masyarakat.
SAMA DAN SEBANGUN.
Di dalam Islam, induvidu dan agada masing-masing memiliki unsur dan potensi yang sama dan sebangun, dan tak bisa dinafikan eksistensinya satu sama lain. Individu memberi sekaligus memperoleh pengaruh dari masyarakat. Demikian pula sebaliknya, masyarakat memberi sekaligus memperoleh pengaruh dari individu. Dan, kedaulatan mutlak di dalam negara tidak otomatis berada pada induvidu dan masyarakat (sovereignty of people), karena masih ada hukum-hukum Tuhan yang lebih tinggi (sovereignty of god). Tidak boleh ada kekuasaan atau ‘power’ di atas Tuhan. Letak persoalan sepenuhnya ialah, kedaulatan individu atau masyarakat di dalam negara hanya sejauh yang diizinkan oleh Sang Pemegang Kedaulatan Tertinggi (Tuhan) yang dapat diketahui melalui kitab suci-Nya (Al Quran dan Hadis).
ADANYA KONSEP TEOKRASI.
Al Maududi dan sejumlah pemikir Islam lainnya menyebut konsep semacam ini dengan Divine Democracy atau Theo Democracy. Yang lebih rumit lagi ialah konsep Teokrasi, yang seolah-olah menafikan unsur manusia dan masyarakat di dalan kepemimpinan umat. Mereka berpendapat keseluruhan proses politik kenegaraan itu harus berdasarkan Al Quran dan Hadis. Walaupun dalam penjabaran sesungguhnya tidak lain adalah penafsiran tokoh-tokoh mereka terhadap sejumlah ayat dan Hadis. Kelompok inilah selalu mengidealisir terwujudnya apa yang disebut Negara Islam (Daulah al-Islamiyyah). Faham yang dianut banyak umat Islam dan ada yang menjadikannya ideologi perjuangannya di dalam politik praktis. (mdr/ic)