Jakarta (LINGGA POS) – Guna mencegah praktik korupsi, pemerintah menjajaki kemungkinan untuk menerbitkan aturan yang membatasi jumlah uang tunai yang bisa dibawa seseorang. Saat ini aturan tentang Cros Border Cash Carrying (CBCC) atau Laporan Pembawaan Uang Tunai (LPUT) tersebut sedang dikaji pemerintah. “Uang asing dalam pecahan besar saat ini menjadi salah satu alat suap yang semakin banyak digunakan koruptor,”kata Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Muhammad Yusuf, dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, Rabu (19/3). Dia menduga penggunaan transaksi tunai pada lapisan masyarakat yang diduga antara lain untuk maksud mempersulit upaya pelacakan asal usul sumber dana yang diduga berasal dari tindak pidana atau dengan maksud memutus pelacakan akhir dana kepada pihak penerima uang. Ia lantas memberi contoh kasus Gayus Tambunan. Amir Syarifuddin Tambunan orang tua tersangka Gayus Tambunan pernah menitipkan uang kepada anaknya pada sekitar tahun 2005. Besarnya mencapai 10 juta dolar Singapura (S$) dan 1 juta dolar Amerika Serikat (US$). Dengan pecahan sebesar itu, dan merujuk pada nilai tukar (kurs) saat ini (S$ 1 = Rp9.700) seseorang bisa membawa Rp97 juta dalam 1 lembar kertas dolar Singapura.
RELEVANSI.
Penerbitan aturan CBCC baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Peraturan Presiden (Perpres) menurut Yusuf, diharapkan dapat memberi kewenangan kepada Bea dan Cukai untuk melakukan tindak fisik termasuk menggeledah setiap orang yang dicurigai oleh PPATK. Bisa saja uang tersebut digunakan untuk suap, misalnya. Mengenai cara untuk membatasi pembawa uang tunai menurut dia kepada orang yang ingin menukarkan S$ 10 ribu dimintakan Kartu Keluarga (KK) atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau bisa juga meminta rekomendasi atasan.. “Dengan demikian, bisa diketahui apakah orang tersebut wajar menukarkan uang sebanyak itu dan apakah relevan mempunyai uang sebanyak itu,” imbuh Yusuf. (ndw/l6)