(LINGGA POS) – Sejarahwan Didi Kuartananda mengungkapkan, kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia (saat itu masih bernama Nusantara) kemungkinan berawal pada abad ke-5 Masehi. Pada tahun 414, orang-orang Tionghoa (Cina) yang melakukan perjalanan ke India terdampar di Pulau Jawa. Mereka juga terdampar seiring dengan hubungan perdagangan Nusantara. “Namun waktu itu orang Tionghoa-nya masih sedikit. Baru tahun 1415 mulailah banyak orang Tionghoa ke Pulau Jawa seiring dengan adanya hubungan dagang yang semakin sibuk di Nusantara,” kata Didi.
Selepas itu, lanjut dia, semakin banyak orang Tionghoa yang datang ke Indonesia – termasuk yang berasal dari Mongol – yang memilih tak pulang ke tanah airnya, alias menetap di Indonesia. Apalagi, hampir orang Tionghoa itu tidak membawa isterinya saat hijrah ke Indonesia karena memang saat itu para perantauan itu dilarang membawa isterinya (peraturan Tionghoa melarang membawa seorang perempuan keluar dari negara itu/Tiongkok). “Mereka pun menikahi sejumlah perempuan Indonesia yang akhirnya membuahkan benih seorang peranakan Indonesia – Tionghoa,” kisah Didi. Orang-orang Tionghoa itu lalu membaur dengan bahasa, makanan, pakaian dan juga agama di Indonesia. Di Indonesia pula mereka semakin giat bekerja sebagai petani, buruh tambang dan tentu saja berdagang. Dalam buku berjudul “Tionghoa Dalam Pusaran Politik” terbitan Trans Media (2008) menyebutkan, kurang lebih 5.000 orang Tionghoa datang ke Indonesia. Pada tahun 1683 saja, jumlah orang Tionghoa berkembang pesat di Pulau Jawa. Jumlahnya bahkan melebihi 100 ribu orang pada permulaan abad ke 19. Mereka itu hidup menyebar di seluruh Pulau Jawa, ke daerah pedalaman dan disepanjang pesisir utara.
Selama tinggal di Indonesia, orang Tionghoa dikenal rajin dan pintar mencari uang apalagi di bidang perdagangan. Orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia itu sangat dekat dengan raja-raja dan keraton Jawa. Banyak juga yang diberi gelar bangsawan dan dinikahkan dengan putri keraton. Atau sebaliknya, banyak juga putri Tionghoa dijadikan selir raja-raja Jawa. Sebut saja misalnya Putri Cina yang dijadikan isteri atau permaisuri Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Perkawinan silang dan budaya, etnis antar negara ini pun menimbulkan keturunan hingga masa ini. (mdk)