Oleh JAYA KUSUMA AS
Sore itu, di rumah makan Friska, Desa Budus, Daik Lingga, Kabupaten Lingga, Kepri, Selasa (21/11-2017) aku duduk lesehan dengan Bang Tardji begitu aku memanggilnya meski baru pertama kali itula aku bertemu dan berdialog secara langsung dengan pembaharu puisi Indonesia yang lebih dikenal dengan gelar Presiden Penyair Indonesia ini. Duduk bersama kami Teja Alhab penyair dari Tanjungpinang, Arizal Nur penyair dari Jakarta asal Kepri yang bermaustin di Depok dan beberapa teman lainnya sambil mencicipi hidangan dan minuman yang tersedia.
Kedatangan SCB di Daik Lingga adalah atas undangan panitia bidang baca puisi bertema Malam Seribu Kata yang digelar di Aula Kantor Bupati Lingga sempena memeriahkan acara Perhelatan Memuliakan Tamadun Melayu Antarbangsa (PMTMA) di Daik Lingga sejalan HUT Kabupaten Lingga ke-14 tahun ini dan bersamaan dengan diberikannya gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Joko Widodo atas nama Pemerintah RI kepada putra Lingga-Kepri Sultan Mahmud Riayat Syah III pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2017 di Istana Negara, Jakarta. Lebih istimewa lagi pada PMTMA tersebut Wakil Presiden RI Jusuf Kalla berkenan meresmikan pembukaan kegiatan tersebut bersama Ibu Mufidah Kalla. Pada kesempatan itu LAM Kepri juga menganugerahkan gelar adat Sri Perdana Wira Negara kepada JK dan Sri Puan kepada Ibu Mufidah Kalla.
Aku duduk bersebelahan denga SCB yang tampil sederhana berbaju kaos dan tentu saja topi yang tak pernah lepas dari kepalanya. Laki-laki yang kini sudah berusia 77 tahun itu nantinya akan ikut membacakan puisi-puisinya bersama penyair lainnya seperti Rida K. Liamsi, Husnizar Hood, Hasan Aspahani, Said Barakhbah Ali dari Tanjungpinang dan satu-satunya penyair wanita dari Batam, Fayentia.
“Empat buku puisi,” katanya singkat ketika kutanyakan berapa karya puisinya yang telah dibukukan. Putra dari pasangan Mohammad Bachri dan May Calzum ini lahir di Rengat, Indragiri Hulu pada 24 Juni 1941 merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara. Dari perkawinannya dengan Mariham Linda mereka dikaruniai seorang putri yang diberi nama Mila Seraiwangi.
TOTALITAS.
Sang Maestro puisi yang mulai aktif menulis di surat kabar dan mingguan di Bandung. Kemudian puisinya di muat di majalah Horizon, Budaya Jaya, harian Sinar Harapan, Berita Buana, ‘Bentara‘ Kompas dan lainnya. SCB berusaha tampil total dalam setiap penampilannya membacakan puisinya agar tidak hilang kontak dengan penonton.
“Kehadiran sajak itu harus akrab dengan penonton, tak berjarak dengan kehidupan,” ujarnya. Ia tak segan memperagakan puisinya hingga berguling-guling diatas panggung bahkan sambil tiduran, tengkurap dan sebagainya. “Aku tak pernah main-main sewaktu membikin sajak. Aku serius. Tapi, ketika tampil aku berusaha apa adanya, santai, namun memiliki arti,” tambahnya. Namun, tentu saja hal itu tak lagi dapat dilakukan SCB seiring usianya dewasa ini. Meski vokalnya tidak ada kesan berubah. Buktinya, meski hanya membacakan dua sajak berjudul ‘Jembatan‘ dan pada penutup acara ‘Sumpah Pemuda‘, tepuk tangan penonton tak berhenti memberikan apresiasi kepada penulis 0 (kumpulan puisi, 1973), Amuk (kumpulan puisi, 1977) dan Kapak (kumpulan puisi, 1979) yang kemudin pada 1981 digabung menjadi satu judul ‘0 Amuk Kapak‘ oleh penerbit Sinar Harapan. Puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi. Termasuk esai ‘Gerak Esai‘ dan ‘Ombak Sajak Anno 2001‘, ‘Hujan Kelon dan Puisi 2002‘ mengantar kumpulan puisi ‘Bentara‘ dan kumpulan cerpen ‘Hujan Menulis Ayam‘ (Magelang, Indonesia Tera, 2001).
Pelopor puisi kotemporer yang bersahaja ini menyelesaikan kuliahnya di tingkat doktoral di Fakultas Sosial Politik jurusan Administrasi Negara, UNPAD, Bandung. Dalam pendidikan non-formal SCB pernah mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam 1974, International Writing Program di IOWA City, Amerika Serikat (1974-1975).
(bersambung)