Rangkaian penutup dari kegiatan bertajuk Lawatan Sejarah dan Gelar Budaya Melayu yang berlangsun 5-11 Desember 2011 semakin memperkokoh keberadaan Daik (LINGGA) sebagai Bunda Tanah Melayu.
Daik, LP(14/12) – Tak kurang para pakar, budayawan, sastrawan, sejarawan dan cerdik pandai yang datang baik dari luar negeri, sebagai negara serumpun Melayu seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan Brunai Darussalam, dari dalam negeri melalui perwakilan Riau, Kalimantan Barat, Jakarta dan tuan rumah Kepulauan Riau. Kesemuanya kemudian melalui seminar berhasil menghimpun yang terserak dalam satu wadah kesepakatan bernama deklarasi, menyatakan memang benarlah kiranya status Lingga (Kabupaten Lingga) sebagai Bunda Tanah Melayu.
Dalam kata sambutannya, menutup seluruh rangkaian kegiatan itu, Sabtu (10/12) Bupati Lingga, Daria menyatakan dengan dikokohkanya gelar Bunda Tanah Melayu kepada Lingga, masyarakat tempatan patut mensyukuri dan hendaknya senantiasa dapat mempertahankan serta melestarikan nilai-nilai keagungan dari khazanah budaya Melayu di Lingga khususnya sebagai tameng dari pengaruh budaya asing terlebih di era globalisasi saat ini. Kata dia, Kerajaan Melayu Riau-Lingga di Daik telah berlangsung selama 120 tahun dengan wilayah kekuasaannya hingga Singapura, Johor dan Pahang. Daik sebagai bandar diraja terkenal pada abad XVIII, sebagai pusat pengembangan budaya, adat istiadat dan agama Islam. Gelar Lingga sebagai Bunda Tanah Melayu mengemuka sejak awal melalui Badan Maklumat Kebudayaan Melayu Riau yang berkedudukan di Pulau Penyengat.
Dari catatan LINGGA POS, Pulau Penyengat adalah sebagai tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda Lingga-Riau, sedangkan Sultan bermaustin di Daik Lingga. Pada perkembangannya, Sultan kemudian pindah ke Pulau Penyengat karena dianggap lebih strategis sebagai pusat kerajaan. Pada masa itulah Pulau Penyengat menjadi pusat pemerintahan, pertahanan, kebudayaan, adat istiadat, agama dan kesusteraan. Utamanya, karya Raja Ali Haji, Pahlawan Nasional Indonesia, “Gurindam 12”, yang monumental. (jk)